Sekarang aku tidak lagi tinggal di Jakarta. Diterimanya aku di ITS membuat aku harus meninggalkan kota yang menjadi tempat kelahiranku itu. Aku senang karena aku merasa bisa belajar mandiri di kota baru. Surabaya. Dari awal, aku memang berniat untuk meneruskan pendidikanku di kota ini, di salah satu Institut Teknologi terbaik di Indonesia. ITS. Dengan berbagai macam pertimbangan, aku memberanikan diri untuk memilih ITS di kedua pilhanku pada saat mengikuti SNMPTN. Pada awalnya orangtua ku memang tidak sependapat dengan pilihanku ini, jujur saja mereka merasa khawatir melihat anak terakhirnya harus tinggal jauh dari keluarga. Tapi aku berusaha keras untuk meyakinkan mereka bahwa aku akan baik baik saja selama jauh dari mereka. Akhirnya mereka pun mengalah, walau sesungguhnya tanpa aku ketahui, ibuku tetap berharap agar aku tidak diterima di ITS dan bisa kuliah di Jakarta. Kelihatannya memang agak "jahat", impianku untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang kuingini tidak mendapat dukungan sepenuhnya. Tapi aku tidak menyerah, aku tetap berdoa sepenuh hati agar impianku bisa terwujud. Sebenarnya, aku sendiri tidak mengerti mengapa aku begitu ingin tinggal jauh dari keluargaku. Terkadang, aku sendiri merasa ragu, apakah aku bisa menjalani keseharianku tanpa keluarga. Tapi, aku rasa aku membutuhkan kehidupan baru. Suasana baru, lembaran baru dalam kisah hidupku yang harus kulalui bukan di Jakarta, bukan di lingkungan kehidupanku yang lama. Aku ingin pergi dari Jakarta dan menghapus kenangan kenangan buruk yang pernah ada. Walau aku tahu, tidak seharusnya semua itu kulakukan. Tapi, keinginan dari dalam diriku ini begitu besar dan sulit dikalahkan. Aku mengalah dengan suara hati kecilku. Walau harus berjuang sendirian di kota yang baru, walau harus jauh dari keluargaku, aku tetap ingin melanjutkan pilihanku. "demi mencapai kemandirian", gumamku dalam hati di kala aku dihampiri oleh keraguan. Ya, aku memang ingin belajar mandiri dan tidak bergantung pada orang-orang di sekitarku. Aku ingin mencoba menjalani kehidupan baru dan mengenal orang-orang baru disini. Aku terus berjuang agar bisa melanjutkan pendidikanku di ITS, aku belajar keras, berdoa tak henti-hentinya, walau aku tahu, ada satu doa yang berusaha melawan kekuatan doa dan harapanku. Sedihnya, doa itu datang dari Ibuku sendiri. Hingga suatu malam, beliau menyaksikan sendiri bagaimana aku bangun di tengah malam demi memanjatkan doaku pada Allah dan bersungguh sungguh meyampaikan harapanku. Sepertinya, ibuku merasa terharu, melihat sang anak yang begitu bersungguh sungguh menjalankan niatnya. Akhirnya, ibuku pun merasa luluh. Beliau benar-benar mengalah, dan ikut mendoakan yang terbaik untukku. Beliau ikut mengantarku untuk melaksanakan SNMPTN di Surabaya. Ikut menemaniku sholat malam. Ikut mendampingi dan mendoakanku. Hingga, ada satu waktu yang benar benar membuatku merasa berterimakasih dan merasa akan begitu merindukan beliau. Pada hari H SNMPTN, beliau ikut mengantarku ke tempat pelaksanaannya. Pada saat aku istirahat, aku melihat beliau berdiam diri di sebuah masjid di sekitar tempat pelaksaan ujian tersebut. Aku yang hendak sholat dhuha, terlebih dahulu disapa oleh ibuku. Setelah berbicara sebentar, barulah aku sholat dhuha. Seusai aku sholat, aku bertanya pada ibuku tentang apa yang beliau lakukan sejak tadi. Beliau menjawab bahwa saat aku sedang mengerjakan ujian di dalam ruangan, beliau ikut membantuku dalam doa. Beliau sholat dhuha, sholat hajat, membaca alquran, dan beliau melakukan itu karena beliau melihat aku yang begitu bersungguh-sungguh dengan impianku. Beliau yang dulu tidak mendukungku sepenuhnya, kini ikut membantuku dalam doa. Sungguh, aku terharu saat itu. Hingga aku kembali berjuang sepenuhnya agar bisa membuat beliau bangga dan bahagia. Alhamdulillah, usahaku dan dukungan dari orang sekitar, tidak sia-sia. Aku berhasil diterima di ITS. Aku sangat bahagia, keluargaku pun begitu, merasa bangga. Namun, aku tau bahwa di hati kecil ibuku masih ada kekhawatiran yang mendalam. Buktinya, dia memang memberiku selamat, namun terlihat raut sedih di wajahnya. Beliau bilang, diterimanya aku di ITS memang suatu kebanggan berarti, namun juga menjadi sebuah tanda bahwa aku harus tinggal jauh dan meninggalkan keluarga. Untuk kesekian kalinya aku meyakinkan mereka bahwa aku akan baik-baik saja. ....... *bersambung*a
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Wednesday, 3 October 2012
Lembaran Baru :)
Assalamualaikum. Bismillah, saya menuliskan ini dengan sepenuh hati dan kesadaran sesungguhnya. :)
Sekarang aku tidak lagi tinggal di Jakarta. Diterimanya aku di ITS membuat aku harus meninggalkan kota yang menjadi tempat kelahiranku itu. Aku senang karena aku merasa bisa belajar mandiri di kota baru. Surabaya. Dari awal, aku memang berniat untuk meneruskan pendidikanku di kota ini, di salah satu Institut Teknologi terbaik di Indonesia. ITS. Dengan berbagai macam pertimbangan, aku memberanikan diri untuk memilih ITS di kedua pilhanku pada saat mengikuti SNMPTN. Pada awalnya orangtua ku memang tidak sependapat dengan pilihanku ini, jujur saja mereka merasa khawatir melihat anak terakhirnya harus tinggal jauh dari keluarga. Tapi aku berusaha keras untuk meyakinkan mereka bahwa aku akan baik baik saja selama jauh dari mereka. Akhirnya mereka pun mengalah, walau sesungguhnya tanpa aku ketahui, ibuku tetap berharap agar aku tidak diterima di ITS dan bisa kuliah di Jakarta. Kelihatannya memang agak "jahat", impianku untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang kuingini tidak mendapat dukungan sepenuhnya. Tapi aku tidak menyerah, aku tetap berdoa sepenuh hati agar impianku bisa terwujud. Sebenarnya, aku sendiri tidak mengerti mengapa aku begitu ingin tinggal jauh dari keluargaku. Terkadang, aku sendiri merasa ragu, apakah aku bisa menjalani keseharianku tanpa keluarga. Tapi, aku rasa aku membutuhkan kehidupan baru. Suasana baru, lembaran baru dalam kisah hidupku yang harus kulalui bukan di Jakarta, bukan di lingkungan kehidupanku yang lama. Aku ingin pergi dari Jakarta dan menghapus kenangan kenangan buruk yang pernah ada. Walau aku tahu, tidak seharusnya semua itu kulakukan. Tapi, keinginan dari dalam diriku ini begitu besar dan sulit dikalahkan. Aku mengalah dengan suara hati kecilku. Walau harus berjuang sendirian di kota yang baru, walau harus jauh dari keluargaku, aku tetap ingin melanjutkan pilihanku. "demi mencapai kemandirian", gumamku dalam hati di kala aku dihampiri oleh keraguan. Ya, aku memang ingin belajar mandiri dan tidak bergantung pada orang-orang di sekitarku. Aku ingin mencoba menjalani kehidupan baru dan mengenal orang-orang baru disini. Aku terus berjuang agar bisa melanjutkan pendidikanku di ITS, aku belajar keras, berdoa tak henti-hentinya, walau aku tahu, ada satu doa yang berusaha melawan kekuatan doa dan harapanku. Sedihnya, doa itu datang dari Ibuku sendiri. Hingga suatu malam, beliau menyaksikan sendiri bagaimana aku bangun di tengah malam demi memanjatkan doaku pada Allah dan bersungguh sungguh meyampaikan harapanku. Sepertinya, ibuku merasa terharu, melihat sang anak yang begitu bersungguh sungguh menjalankan niatnya. Akhirnya, ibuku pun merasa luluh. Beliau benar-benar mengalah, dan ikut mendoakan yang terbaik untukku. Beliau ikut mengantarku untuk melaksanakan SNMPTN di Surabaya. Ikut menemaniku sholat malam. Ikut mendampingi dan mendoakanku. Hingga, ada satu waktu yang benar benar membuatku merasa berterimakasih dan merasa akan begitu merindukan beliau. Pada hari H SNMPTN, beliau ikut mengantarku ke tempat pelaksanaannya. Pada saat aku istirahat, aku melihat beliau berdiam diri di sebuah masjid di sekitar tempat pelaksaan ujian tersebut. Aku yang hendak sholat dhuha, terlebih dahulu disapa oleh ibuku. Setelah berbicara sebentar, barulah aku sholat dhuha. Seusai aku sholat, aku bertanya pada ibuku tentang apa yang beliau lakukan sejak tadi. Beliau menjawab bahwa saat aku sedang mengerjakan ujian di dalam ruangan, beliau ikut membantuku dalam doa. Beliau sholat dhuha, sholat hajat, membaca alquran, dan beliau melakukan itu karena beliau melihat aku yang begitu bersungguh-sungguh dengan impianku. Beliau yang dulu tidak mendukungku sepenuhnya, kini ikut membantuku dalam doa. Sungguh, aku terharu saat itu. Hingga aku kembali berjuang sepenuhnya agar bisa membuat beliau bangga dan bahagia. Alhamdulillah, usahaku dan dukungan dari orang sekitar, tidak sia-sia. Aku berhasil diterima di ITS. Aku sangat bahagia, keluargaku pun begitu, merasa bangga. Namun, aku tau bahwa di hati kecil ibuku masih ada kekhawatiran yang mendalam. Buktinya, dia memang memberiku selamat, namun terlihat raut sedih di wajahnya. Beliau bilang, diterimanya aku di ITS memang suatu kebanggan berarti, namun juga menjadi sebuah tanda bahwa aku harus tinggal jauh dan meninggalkan keluarga. Untuk kesekian kalinya aku meyakinkan mereka bahwa aku akan baik-baik saja. ....... *bersambung*a
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment