SpongeBob SquarePants

Friday, 9 December 2011

Tak Selamanya Indah

Berawal dari tugas cerpen di sekolah,

   Di suatu pagi yang cerah, ada sebuah keluarga sedang bermain di halaman belakang rumah mereka. Rumah yang megah, halaman yang luas dan sebuah kolam renang membuat rumah itu bak istana dalam dongeng. Seorang laki-laki berbadan tinggi, tegap, kekar, berkulit gelap dan berkacamata sedang asik bermain air bersama seorang anak perempuannya di pinggir kolam renang. Sementara seorang wanita berwajah oriental duduk tidak jauh dari mereka sambil membaca sebuah majalah. Sekali-kali dia melihat ke arah suami dan anaknya yang sedang akrab bermain. Begitu indah pemandangan itu, menggambarkan sebuah kebahagiaan dalam keluarga yang tak ada tandingannya. Semua terasa sempurna, tidak ada yang kurang.
   “Kirana, bagaimana kalau kita berenang saja?”,tanya sang ayah pada anaknya. “Ayo Yah ayo..”,jawab Kirana semangat seraya menarik lengan baju sang ayah. Ayahnya hanya tertawa melihat tingkah Kirana yang begitu semangat. Mereka pun segera berganti baju dan tanpa menunggu lama, mereka pun menyeburkan diri ke dalam kolam renang. “Brr.. dingin ya, Yah..”, kata Kirana sambil terus menggenggam tangan sang ayah. Karena Kirana berenang di kolam yang dalam, maka sang Ayah harus terus menggenggam tangan Kirana agar dia tidak tenggelam. “Hati-hati ya Nak berenangnya..”,kata sang Ibu dari tempat duduknya. Keadaan itu terus berlangsung tanpa ada yang mengganggu mereka. Sampai matahari mulai naik dan meninggi, barulah mereka menyudahi kegiatan mereka itu. Mereka semua bergegas masuk ke dalam rumah dan melanjutkan aktivitas mereka.
   Kirana adalah seorang anak perempuan yang berumur 8 tahun. Badannya kecil, berkulit sawo matang, berambut keriting dan berwajah manis. Mirip sekali dengan sang Ayah. Kirana adalah anak semata wayang dari seorang pengusaha ternama di Ibukota, dan Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Kehidupan Kirana sangat tercukupi, semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Dari urusan sekolah, hiburan dan yang lainnya. Karena dia adalah anak tunggal, kedua orangtuanya biasa memanjakannya. Apapun yang Kirana inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orangtuanya, terutama sang Ayah. Ayahnya begitu menyayangi dia. Apapun keinginan Kirana segera diturutinya, bahkan terkadang tanpa Kirana meminta, sang Ayah sudah memberikannya terlebih dahulu. Semua itu membuat Kirana bahagia. Kasih sayang yang melimpah dan kebutuhan yang selalu terpenuhi membuat Kirana berpikir bahwa hidup itu indah. Selamanya indah.
   “Kirana, ayo makan siang dulu..”, ajak sang Ibu. Kirana menurutinya, dia duduk di samping Ayahnya. Mereka pun makan siang bersama. Tiba-tiba sang Ayah berkata, “Bu, besok aku akan berangkat ke Vietnam, tolong disiapkan ya baju-bajuku.”, “Ayah besok mau ke Vietnam?”, sambar Kirana. “Iya sayang, ada urusan bisnis yang harus diselesaikan. Kirana mau oleh-oleh apa?”, tanya sang Ayah seraya membelai rambut Kirana. “Aku mau mata uang Vietnam dong Yah, oh ya, aku juga mau perangko dari Vietnam, supaya koleksi perangko ku makin lengkap. Hehe..”, jawab Kirana sambil tersenyum lebar. “Baiklah.. nanti Ayah belikan ya..”, kata sang Ayah sambil tersenyum.
   Sang Ayah memang sering pergi ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya sendiri. Dia tidak mau terlalu mengandalkan orang lain atau anak buahnya. Dia lebih suka mengurus bisnisnya sendiri, kecuali di saat dia memang benar-benar tidak bisa mengurusnya, barulah dia meminta tolong anak buahnya. Kalau sang Ayah sedang ke luar negeri, terkadang Kirana merasa kesepian. Wajar saja, Kirana memang sangat dekat dengan Ayahnya. Kemana-mana selalu bersama Ayahnya. Walau merasa kesepian, tapi Kirana mengerti bahwa Ayahnya pergi untuk mengurus pekerjaan. Kirana selalu mendoakan Ayahnya agar Ayahnya  tetap selamat dimanapun dia berada.
   Keesokan harinya Ayahnya pun bersiap untuk berangkat ke Vietnam. Kirana menemani Ayahnya bersiap-siap. “Ayah berapa lama di Vietnam?”,tanya Kirana dengan wajah polosnya. “Hm.. sekitar 2 minggu..”, jawab sang Ayah. “Jangan lupa titipan aku ya,Yah.. hehe”, kata Kirana seraya memeluk erat tubuh sang Ayah. “Iya sayang, Ayah pasti ingat. Ayah pasti belikan titipan kamu.”, Ayahnya mencium kening Kirana. Mereka berpelukan erat seakan akan berpisah lama. “Loh.. Ibu kira Ayah sudah siap, ternyata masih disini sama Kirana..”, tiba-tiba Ibu masuk ke dalam kamar. “Eh.. ada Ibu, mau ikut pelukan juga nggak bu?”, goda Kirana sambil tersenyum lebar. “Hahaha.. kamu ini suka menggoda Ibu kamu ya..”, kata sang Ayah sambil mengacak-acak rambut Kirana perlahan. “Sudah sudah, Ayah harus segera berangkat, nanti terlambat sampai bandara, gawat kalau sampai ketinggalan pesawat.”, sang Ibu menggandeng tangan Kirana dan mengajak Kirana ikut keluar. “Kita nggak mengantar Ayah ke airport,Bu?”, tanya Kirana. “Tidak usah sayang. Nanti setelah mengantar Ayah ke airport, Pak Umang tidak langsung pulang ke rumah, dia mau mampir dulu ke kantor Ayah. Kirana di rumah saja ya sama Ibu.”, “Oh, oke deh Yah. Ayah hati-hati ya di jalan. Jangan lupa kabarin kita ya Yah kalau sudah sampai Vietnam”, kata Kirana berlagak seperti orang tua sedang menasihati anaknya. Sang Ayah hanya tertawa mendengar ucapan Kirana.Tanpa menunggu lama, sang Ayah pun segera masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju bandara. Dia melambaikan tangannya ke arah Istrinya dan Kirana.
   Dua minggu kemudian, Ayahnya pun pulang. “Ayaaah..”, sambut Kirana seraya berlari ke dalam pelukan Ayahnya. “Akhirnya Ayah pulang juga.. Kirana kangen banget sama Ayah..”, “Ayah juga kangen sama Kirana..”, Ayahnya mencium keningnya. “Lihat, Ayah bawa apa untuk Kirana”, Ayahnya mengeluarkan sebuah bingkisan. Bingkisan itu berisi banyak perangko dari Vietnam. “Waahhh.. banyak sekali, terima kasih Ayah..”, Kirana mencium dan memeluk Ayahnya. Ayahnya sangat senang melihat Kirana suka akan oleh-oleh yang diberikannya. Sang Ayah senang bila melihat Kirana bahagia. Kebahagiaan seperti itu pun terus tercipta di hari-hari berikutnya. Hidup Kirana seakan sempurna, tidak pernah merasa sedih. Kirana sangat bersyukur pada Tuhan atas kebahagiaan yang selama ini dia rasakan. Sekali lagi Kirana berpikir bahwa hidup akan selamanya indah.
   Hingga suatu ketika, semua kebahagiaan itu berubah menjadi keadaan yang sangat tidak diinginkan oleh Kirana. Semua kebahagiaan itu hilang entah kemana, entah direnggut oleh siapa. Keadaan di rumah Kirana menjadi tidak hangat lagi. Kini, tidak jarang kedua orang tuanya bertengkar, saling berteriak, saling membentak satu sama lain. Kirana tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi, Kirana masih terlalu kecil untuk mengetahui keadaan seperti ini. Kirana hanya bisa sembunyi ke kamarnya kalau dia sudah mendengar kedua orang tuanya mulai bertengkar. Kirana merasa takut, merasa sedih, merasa sendiri dan tidak mengerti apa yang seharusnya dia lakukan. Semenjak keadaan di rumahnya berubah, Kirana menjadi lebih tertutup dan menjadi anak yang pendiam. Keceriaan dan gelak tawanya kini tidak terdengar lagi. Ayahnya pun seakan sudah melupakannya. Ayahnya jarang pulang ke rumah, dan sudah tidak pernah mengajak Kirana bercanda lagi. Kirana benar-benar bingung, dia tidak tahu harus bercerita pada siapa. Setiap dia bertanya pada sang Ibu tentang Ayahnya, sang Ibu hanya memberi jawaban yang tak pernah berubah. Katanya, Ayah sedang ke luar negeri mengurus bisnisnya. Tapi Kirana tahu jawaban Ibunya itu hanya alasan. Kirana tahu Ayahnya tidak sedang mengurus bisnis.
   Kirana mencoba mencari tahu kemana Ayahnya pergi. Namun hasilnya nihil. Kirana memohon pada Ibunya pun, Ibunya tidak mau memberi tahu kemana Ayahnya pergi. Ibunya pun kini berubah, menjadi sensitif dan pemarah. Kirana merasa sangat kesepian, tidak ada lagi kasih sayang seperti dulu. Tidak ada lagi perhatian dan kebahagiaan seperti dulu. Kirana sangat sedih. Hingga akhirnya Kirana benar-benar ditinggal oleh Ayahnya. Dulu, Ayahnya masih sempat pulang ke rumah, walaupun sangat jarang. Namun sekarang, Ayahnya tidak pernah pulang sama sekali. Kirana bingung kemana sang Ayah pergi. Akhirnya dia memberanikan diri untuk menghubungi Ayahnya.
   “Halo.. Ayah..”, Kirana mencoba memulai pembicaraan melalu telepon genggamnya. “Kirana?”, tanya Ayahnya dengan nada seperti tidak percaya. Sesaat, Kirana terdiam. Tidak melanjutkan bicara, melainkan menangis. “Kirana.. kamu kenapa sayang? Jangan menangis ya,Nak..”, terdengar suara dari seberang. Suara itu membuat Kirana merasa tenang dan mengurangi rasa kesepiaannya. “Ayah kemana? Kenapa Ayah pergi? Kenapa Kirana ditinggal?”,Kirana mulai mengeluarkan sejumlah pertanyaan. “Kirana, maafkan Ayah ya. Ayah terpaksa pergi, ada urusan penting yang tidak bisa Ayah tinggalkan”, “Ayah bohong! Ayah pasti nggak ada urusan apa-apa, Ayah pura pura kan?”, tangisan Kirana pun pecah. Tidak ada jawaban dari Ayahnya. Kirana terus terisak. “Kirana.. Ayah mohon, maafkan Ayah. Ayah telah bercerai dengan Ibumu..”, jawab sang Ayah. Kirana menghentikan tangisannya. Sebetulnya, dia tidak mengerti benar apa arti dari kata perceraian yang baru saja diucapkan oleh Ayahnya. Usia nya terlalu dini untuk mengerti permasalahan seperti itu, yang dia tau hanyalah dadanya yang terasa sesak. Dia merasa jauh dengan Ayahnya. Dia rindu kasih sayang dari Ayahnya. “Ayah.. Kirana kangen Ayah.. Kirana mau main sama Ayah..”, Kirana mulai terisak. “Kirana tenang ya, Ayah janji, kita akan tetap bertemu walaupun bukan di rumah.”, “Ayah serius? Kita bisa bertemu?”, “Iya sayang. Kita akan bertemu setiap bulan. Tapi tidak di rumah dan tidak sama Ibu ya..”, “Loh? Kenapa? Ayah nggak kangen sama Ibu?”, “Hm.. Kirana, kamu masih kecil, belum mengerti tentang semua ini. Kirana sabar ya, yang jelas Ayah tetap sayang sama Kirana.. Sudah dulu ya Kirana, Ayah masih banyak pekerjaan..”, pembicaraan itu segera diakhiri oleh Ayahnya. Kirana terduduk di pojok kamar, terdiam dan menangis.
   Ternyata sang Ayah tidak bermain-main dengan janjinya. Semenjak Ayahnya keluar dari rumah, Kirana tetap dapat bertemu dengan sang Ayah, mereka berdua rutin bertemu walaupun hanya satu kali dalam sebulan. Biasanya mereka bertemu di mall, restoran, atau terkadang sang Ayah menjemput Kirana sepulang sekolah. Walaupun hanya sekali dalam sebulan, tapi Kirana tetap bersyukur karena masih dapat bertemu dengan Ayahnya. Mereka hanya bertemu berdua, tanpa sang Ibu. Di pertemuan yang singkat itu, Kirana selalu menceritakan apa saja yang dialaminya. Kerinduannya akan suasana rumah yang menyenangkan, juga masalah perekonomian di rumahnya yang berubah semenjak Ayahnya keluar dari rumah. “Sekarang, nggak ada lagi yang bisa beliin aku mainan kayak Ayah..”, kata Kirana. “Loh, kamu kan masih bisa minta sama Ayah. Ayah akan tetap kasih kamu mainan kalau kamu mau.”, Kirana hanya tersenyum.
   Walaupun Ayahnya sudah berpisah dengan sang Ibu, namun Ayahnya tidak melepaskan tanggung jawab begitu saja. Setiap bulannya, sang Ayah rutin memberi biaya untuk Kirana sekolah, memberi biaya untuk Kirana jalan-jalan ketika liburan sekolah, memberi biaya untuk segala kebutuhan Kirana. Walaupun tidak seperti dulu lagi, Kirana tetap mensyukuri keadaan ini. Dia masih dapat hidup dengan layak walaupun tidak dengan harta berlimpah seperti dulu lagi. Namun, karena dulu dia terlalu sering dimanja, terkadang dia menjadi anak yang keras kepala, memaksakan kehendak dan ingin dituruti keinginannya. Hanya terkadang saja dia terlihat dewasa dan terlihat mengerti keadaan yang telah berubah ini.
   Bertahun-tahun pun dia lewati dengan kehidupan apa adanya, Kirana semakin terbiasa dengan keadaan hidupnya yang baru. Hingga sampailah dia ke umur yang memasuki masa remaja, kini Kirana berumur tiga belas tahun. Ayahnya pun mengajak Kirana untuk merayakan ulangtahunnya itu, tentu saja Kirana merasa sangat senang. Ayahnya mengajak Kirana berjalan-jalan seharian dan mengajak Kirana makan malam di sebuah restoran Jepang. Kirana sangat senang, dia dan Ayahnya duduk di sebuah meja makan yang di depannya ada seorang juru masak yang ternyata langsung memasak pesanan yang dipesan mereka. Kirana baru pertama kali masuk ke restoran Jepang dan dia merasa senang. Satu hal lagi yang membuat harinya semakin sempurna, ternyata Ayahnya menyiapkan kejutan kecil untuknya. Tiba-tiba beberapa pelayan datang mendekati meja mereka, Kirana bingung, namun tiba-tiba keluarlah seorang pelayan lain yang membawakan kue tart beserta lilin di atasnya. Para pelayan di sekelilingnya menyanyikan lagu ‘Happy Birthday’ khusus untuknya. Kirana menatap ke arah Ayahnya dan memeluknya. Kirana merasa tersanjung dan sangat bahagia. Hari itu semua terasa sempurna di mata Kirana.
   Waktu terus berjalan, hari-hari Kirana pun terus berlalu. Setelah hari paling sempurna terjadi di saat Kirana berulang tahun, tidak ada lagi hari bahagia lainnya. Hari-hari Kirana semakin sepi, semakin kelam. Kini, sang Ayah tidak pernah lagi mengajak Kirana untuk bertemu. Entah apa alasannya, Kirana tidak mengerti. Komunikasi mereka pun tidak berjalan lancar seperti dulu. Kirana semakin rindu dengan Ayahnya. Semakin merasa kehilangan, Kirana benar-benar sedih dengan semua keadaan ini. Kirana rindu kehidupannya yang dulu, Kirana rindu akan masa lalunya yang benar-benar indah. Kini Kirana mengerti, hidup tidak selamanya indah. “Ah.. andai waktu bisa kuulang..”, gumam Kirana. Kirana mencoba menghubungi Ayahnya, namun tidak ada hasil. Ayahnya tidak pernah menerima telepon  dari Kirana. Komunikasi mereka pun semakin berkurang hingga akhirnya benar-benar tidak berkomunikasi sama sekali.
   Kirana tidak bisa menerima semua itu begitu saja, dia mencoba bertanya pada Ibunya, tapi Ibunya tidak pernah memberi penjelasan yang sebenarnya pada Kirana. Kirana terus berdoa, berjuang mencari Ayahnya. Namun, dia tidak pernah berhasil. Akhirnya Kirana pun merasa lelah, dia patah semangat dan mulai mencoba menerima semuanya. Kini, dia tidak lagi berusaha mencari Ayahnya, dia merelakan sang Ayah meninggalkan dirinya, walaupun sebenarnya dia merasa kecewa. Kirana menjalani hari-harinya yang baru, tanpa Ayah, tanpa kasih sayang dari Ayah, bahkan tanpa mendengar suara dan kabarnya. Terkadang Kirana berpikir, dimana Ayahnya berada, sedang apa, apakah Ayahnya merindukannya juga. Tidak jarang Kirana menangis di dalam doanya, teringat masa kecil bersama Ayahnya yang begitu menakjubkan.
   Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, Kirana tetap tidak punya kabar tentang keadaan Ayahnya. Sampai-sampai Kirana sudah terbiasa hidup tanpa Ayah. Selama tiga tahun itu pun Kirana menjalani hidupnya dengan tidak mudah. Hidup pas-pas an, hidup seadanya, dan kebutuhan di rumahnya pun tidak lagi terpenuhi dengan baik. Bukan itu saja, tumbuh dewasa tanpa kehadiran seorang Ayah membuat Kirana kekurangan kasih sayang, kurang perhatian, dan pertumbuhan psikologisnya pun tidak berlangsung dengan baik. Terkadang teman-teman Kirana suka bertanya tentang Ayahnya, namun Kirana tak pernah bisa menjawabnya. Kirana merasa iri bila mendengar teman-temannya bercerita tentang Ayah mereka, apalagi jika Kirana melihat teman-temannya dijemput oleh Ayah mereka masing-masing ketika pulang sekolah. Kirana teringat betul bagaimana dulu dia juga pernah dijemput oleh sang Ayah. Untuk kesekian kalinya Kirana merasa sangat rindu dengan kehadiran sang Ayah.
   Kini, Kirana telah berusia tujuh belas tahun, empat tahun telah berlalu semenjak Ayahnya pergi dari rumah. Di hari spesialnya, Kirana sangat berharap Ayahnya datang menemuinya dan mengucapkan selamat ulangtahun padanya, tapi sayang semua itu hanyalah sebuah harapan, yang tidak terwujud dengan sempurna. Ayahnya tidak datang, tidak menemuinya, bahkan tidak menghubunginya. Kirana tidak mendapat ucapan ulangtahun dari sang Ayah. “Ayah.. aku rindu Ayah, aku mau Ayah ucapin selamat ulangtahun buat aku,Yah..”, kata Kirana sambil terisak. Kirana memandang wajah Ayahnya dalam sebuah foto, didekatkannya foto itu ke dadanya, dipeluknya erat. Air matanya menetes, dia menatap foto itu dan air matanya pun jatuh membasahi foto yang sedang digenggamnya. “Ayah, Kirana sedih waktu Kirana nggak bisa bilang selamat ulangtahun ke Ayah di hari ulangtahun Ayah. Sudah empat tahun kita nggak ketemu Yah, sudah empat tahun itu pula aku nggak bisa ucapin selamat ulangtahun ke Ayah, begitu juga sebaliknya. Sekarang aku udah tujuh belas tahun Yah, Ayah bisa bayangin kan gimana aku udah mulai tumbuh dewasa? Aku kangen Ayah..”, Kirana berbicara sendiri pada foto itu. Dia terus menangis. Dia benar-benar merasa rindu, dia teringat bagaimana sedihnya dia disaat hari ulangtahun Ayahnya,  dia tidak bisa bertemu dan mengucapkan selamat ulangtahun pada Ayahnya.
   Setelah cukup lama dia menangis, akhirnya dia pun tersadar bahwa hidupnya harus tetap berjalan. Dia berhenti menangis, dia mengambil laptop dan menyalakannya. Kemudian dia mencoba mengetik nama ayahnya di google, “Ah.. mungkin saja ada info yang bisa aku dapat tentang Ayah”, gumamnya. Akhirnya, beberapa artikel yang memuat nama Ayahnya pun tampil di layar. Dia membuka beberapa di antaranya, hingga dia menemukan biodata tentang Ayahnya. Namun disana, terpampang sebuah nama yang membuatnya bertanya-tanya. Ada nama seorang laki-laki yang tertulis sebagai anak Ayahnya. Langsung saja Kirana mencoba menghubunginya. Laki-laki itu bernama Hans. “Halo..”, kata Kirana memulai pembicaraan. “Halo.. ini siapa ya?”, sahut orang itu. “Hm.. betulkah ini Hans Sutaryo?”, “Oh iya.. betul. Anda siapa ya? Ada keperluan apa?”, “Saya Kirana, apa betul Anda ini anak dari Bapak Heru Sutaryo?”, “Betul, darimana Anda tahu?”, jawabnya lagi. Akhirnya Kirana pun menceritakan siapa dia sebenarnya. “Baiklah kalau begitu..”, kata Hans. “Kamu panggil saja aku Bang Hans, aku mengerti siapa kamu sebenarnya.”, sambungnya lagi. “Terimakasih banyak Bang, terimakasih mau mendengarkan aku.”, jawab Kirana.
   Akhirnya, Kirana pun rutin berkomunikasi dengan Bang Hans. Kirana pun beberapa kali mendapat kabar tentang Ayahnya dari Bang Hans. Kirana pun akhirnya mengerti kenapa Ayahnya pergi dari rumah. Ternyata, sang Ayah telah mempunyai istri lain sebelum bertemu dengan Ibu Kirana. Bang Hans adalah anak Ayahnya dari istri pertamanya. Kirana tidak terlalu memikirkan masalah itu. Kini, Kirana mendapat banyak bantuan dari Bang Hans, kebutuhannya mulai terpenuhi. Kirana sangat berterima kasih kepada Bang Hans. Beberapa kali Kirana meminta izin untuk dipertemukan dengan sang Ayah, namun Bang Hans tak pernah mengabulkan permohonannya itu, dan Kirana tidak berani untuk memaksakan kehendaknya.
   Beberapa bulan setelah Kirana bertemu dengan Bang Hans, Kirana mendapat kabar bahwa Ayahnya terkena struk ringan dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Kirana mengetahuinya dari Bang Hans. “Adikku, saat ini Ayah dirawat di rumah sakit karena terkena struk ringan..”, jelasnya. “Astaga, Ayah terkena struk?”, tanya Kirana dengan nada yang agak tinggi. “Lalu, bagaimana keadaannya?”, tanya Kirana lagi. “Kamu tenang saja ya, terus saja berdoa, dokter sedang berusaha merawatnya, yang sabar ya Kirana”, jawab Bang Hans lagi. Kirana terus mendoakan sang Ayah, Kirana tidak mau terjadi sesuatu yang berbahaya pada Ayahnya. Semenjak saat itu, Ayahnya terus-menerus keluar masuk rumah sakit, penyakitnya semakin kompleks, namun Kirana tidak mengerti benar tentang penyakit Ayahnya.
   Suatu sore Bang Hans menghubungi Kirana. “Kirana..”, katanya “Bagaimana kabarmu?”, “Baik Bang..”, jawab Kirana. “Ada apa ya, Bang? Tumben telepon sore-sore begini..”,sambungnya. “Kirana, Abang mempunyai sebuah kabar tentang Ayah”, Bang Hans terdiam sejenak. “Kabar apa Bang?”, Tanya Kirana. “Maafkan Abang baru memberi tahu saat ini, 1 bulan yang lalu Ayah kembali masuk rumah sakit..”, “Loh? Kenapa Abang nggak kasih tau aku?”, “Maaf Kirana, waktu itu Abang lagi sibuk mengurus Ayah. Kirana.. saat ini keadaan Ayah sudah berat.”, “Maksud Abang apa?”, Tanya Kirana. “Keadaannya semakin menurun, tidak ada kemajuan dalam kesehatannya, para dokter yang merawatnya pun sudah angkat tangan..”, sesaat keduanya terdiam. Kirana merasa sangat sedih dan takut. “Besok, Ayah akan dibawa pulang saja, karena di rumah sakit pun percuma, keadaannya tidak juga membaik. Biar saja dia beristirahat di rumah.”, jelasnya. “Titipkan salamku untuknya ya Bang, aku sangat merindukannya.”, jawab Kirana. “Pasti Abang sampaikan, tolong doakan Ayah ya Kirana.”
   Dua hari kemudian, Bang Hans kembali menghubungi Kirana. “Adikku sayang..”, kata Bang Hans. Suaranya agak berbeda dari biasanya. “Kamu yang sabar ya..”,sambungnya. “Ada apa Bang?”, Kirana mulai khawatir. “Apa ini tentang keadaan Ayah?”, tanya Kirana. Tak ada jawaban, hanya terdengar isak tangis yang tertahan. “Bang, Abang nangis ya?”, “Kirana.. Ayah sudah tiada..”, jawab Bang Hans. Bagai disambar petir Kirana mendengar kabar itu, Kirana sangat terkejut. Tangisannya pun pecah, air matanya membanjiri kedua pipinya. Kirana tak sanggup berbicara apa-apa. “Terimakasih Bang atas kabarnya. Aku akan selalu doain Ayah.”, Kirana segera memutuskan pembicaraan itu. Kirana merasa sangat terpukul, dia benar-benar tidak percaya. Kirana berlari mencari Ibunya dan memberi tahu tentang kabar itu. Kirana terus menangis dalam pelukan Ibunya. Kirana merasa benar-benar kehilangan. Kirana merasa tidak sanggup, dia segera berlari ke kamarnya. Dia mengurung diri disana. Dia mengunci pintu kamarnya dan tak mengijinkan siapapun untuk masuk ke dalam.
   Kirana mencari foto Ayahnya, sambil menangis dia berusaha berbicara dengan sang Ayah melalui foto itu. “Ayah..  Kenapa Ayah pergi? Kenapa Ayah tinggalin aku untuk selamanya, Yah?”, Kirana terus menangis. “Ayah.. Kirana kangen Ayah, kangen banget Yah. Kirana mau ketemu Ayah, mau lihat wajah Ayah lagi, Kirana mau lihat wajah Ayah untuk terakhir kalinya Yah..”, Kirana terus terisak. “Kirana mau peluk Ayah.. Kirana mau bertemu Ayah...”, tangisannya semakin kencang. Air matanya semakin deras. Kirana semakin merasa kesepian, dia tidak percaya Ayahnya pergi untuk selama-lamanya. “Ayah.. Ayah adalah Ayah terbaik yang pernah Kirana punya. Nggak ada orang lain yang bisa kasih Kirana kasih sayang seindah kasih sayang dari Ayah. Seburuk apapun kata orang tentang Ayah, Ayah tetap yang terbaik. Walaupun Kirana pernah kecewa, marah sama Ayah, tapi Kirana sayang banget sama Ayah. Kirana nggak pernah benci sama Ayah, walaupun Kirana nggak pernah mengerti kenapa Ayah pergi, tapi Kirana rela kalau itu memang pilihan terbaik untuk Ayah. Kirana rela sedih asal Ayah bahagia. Ayah, Kirana mau peluk Ayah..”,Kirana mencium foto Ayahnya. Mendekap foto itu dengan erat. “Ayah tenang disana ya.. Kirana janji nanti kita akan bertemu lagi, tunggu Kirana ya Yah. Nanti kalau waktunya tiba, kita akan bersama lagi Yah..”, Kirana mencoba menguatkan dirinya sendiri. Kirana terus menangis, dia memaksakan dirinya untuk kuat, memaksakan wajahnya untuk tersenyum walau itu sangat sulit. Kirana terdiam, terdiam dalam kesedihannya. Kirana mencoba mendewasakan diri, mencoba menerima semua kenyataan yang ada. “Ayah, Kirana sayang banget sama Ayah, terimakasih banyak untuk semua yang pernah Ayah kasih untuk Kirana, terimakasih atas kasih sayang yang pernah Ayah kasih untuk Kirana, Kirana akan selalu sayang dan mendoakan Ayah. Love you Yah..”, kata Kirana seraya terus menciumi foto sang Ayah. Air matanya pun turut membasahi foto itu. Sejak saat itu Kirana benar-benar mengerti bahwa hidup memang tak selamanya indah.

Karya : Shella Anastasia

No comments:

Post a Comment

Friday, 9 December 2011

Tak Selamanya Indah

Berawal dari tugas cerpen di sekolah,

   Di suatu pagi yang cerah, ada sebuah keluarga sedang bermain di halaman belakang rumah mereka. Rumah yang megah, halaman yang luas dan sebuah kolam renang membuat rumah itu bak istana dalam dongeng. Seorang laki-laki berbadan tinggi, tegap, kekar, berkulit gelap dan berkacamata sedang asik bermain air bersama seorang anak perempuannya di pinggir kolam renang. Sementara seorang wanita berwajah oriental duduk tidak jauh dari mereka sambil membaca sebuah majalah. Sekali-kali dia melihat ke arah suami dan anaknya yang sedang akrab bermain. Begitu indah pemandangan itu, menggambarkan sebuah kebahagiaan dalam keluarga yang tak ada tandingannya. Semua terasa sempurna, tidak ada yang kurang.
   “Kirana, bagaimana kalau kita berenang saja?”,tanya sang ayah pada anaknya. “Ayo Yah ayo..”,jawab Kirana semangat seraya menarik lengan baju sang ayah. Ayahnya hanya tertawa melihat tingkah Kirana yang begitu semangat. Mereka pun segera berganti baju dan tanpa menunggu lama, mereka pun menyeburkan diri ke dalam kolam renang. “Brr.. dingin ya, Yah..”, kata Kirana sambil terus menggenggam tangan sang ayah. Karena Kirana berenang di kolam yang dalam, maka sang Ayah harus terus menggenggam tangan Kirana agar dia tidak tenggelam. “Hati-hati ya Nak berenangnya..”,kata sang Ibu dari tempat duduknya. Keadaan itu terus berlangsung tanpa ada yang mengganggu mereka. Sampai matahari mulai naik dan meninggi, barulah mereka menyudahi kegiatan mereka itu. Mereka semua bergegas masuk ke dalam rumah dan melanjutkan aktivitas mereka.
   Kirana adalah seorang anak perempuan yang berumur 8 tahun. Badannya kecil, berkulit sawo matang, berambut keriting dan berwajah manis. Mirip sekali dengan sang Ayah. Kirana adalah anak semata wayang dari seorang pengusaha ternama di Ibukota, dan Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Kehidupan Kirana sangat tercukupi, semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Dari urusan sekolah, hiburan dan yang lainnya. Karena dia adalah anak tunggal, kedua orangtuanya biasa memanjakannya. Apapun yang Kirana inginkan selalu dipenuhi oleh kedua orangtuanya, terutama sang Ayah. Ayahnya begitu menyayangi dia. Apapun keinginan Kirana segera diturutinya, bahkan terkadang tanpa Kirana meminta, sang Ayah sudah memberikannya terlebih dahulu. Semua itu membuat Kirana bahagia. Kasih sayang yang melimpah dan kebutuhan yang selalu terpenuhi membuat Kirana berpikir bahwa hidup itu indah. Selamanya indah.
   “Kirana, ayo makan siang dulu..”, ajak sang Ibu. Kirana menurutinya, dia duduk di samping Ayahnya. Mereka pun makan siang bersama. Tiba-tiba sang Ayah berkata, “Bu, besok aku akan berangkat ke Vietnam, tolong disiapkan ya baju-bajuku.”, “Ayah besok mau ke Vietnam?”, sambar Kirana. “Iya sayang, ada urusan bisnis yang harus diselesaikan. Kirana mau oleh-oleh apa?”, tanya sang Ayah seraya membelai rambut Kirana. “Aku mau mata uang Vietnam dong Yah, oh ya, aku juga mau perangko dari Vietnam, supaya koleksi perangko ku makin lengkap. Hehe..”, jawab Kirana sambil tersenyum lebar. “Baiklah.. nanti Ayah belikan ya..”, kata sang Ayah sambil tersenyum.
   Sang Ayah memang sering pergi ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya sendiri. Dia tidak mau terlalu mengandalkan orang lain atau anak buahnya. Dia lebih suka mengurus bisnisnya sendiri, kecuali di saat dia memang benar-benar tidak bisa mengurusnya, barulah dia meminta tolong anak buahnya. Kalau sang Ayah sedang ke luar negeri, terkadang Kirana merasa kesepian. Wajar saja, Kirana memang sangat dekat dengan Ayahnya. Kemana-mana selalu bersama Ayahnya. Walau merasa kesepian, tapi Kirana mengerti bahwa Ayahnya pergi untuk mengurus pekerjaan. Kirana selalu mendoakan Ayahnya agar Ayahnya  tetap selamat dimanapun dia berada.
   Keesokan harinya Ayahnya pun bersiap untuk berangkat ke Vietnam. Kirana menemani Ayahnya bersiap-siap. “Ayah berapa lama di Vietnam?”,tanya Kirana dengan wajah polosnya. “Hm.. sekitar 2 minggu..”, jawab sang Ayah. “Jangan lupa titipan aku ya,Yah.. hehe”, kata Kirana seraya memeluk erat tubuh sang Ayah. “Iya sayang, Ayah pasti ingat. Ayah pasti belikan titipan kamu.”, Ayahnya mencium kening Kirana. Mereka berpelukan erat seakan akan berpisah lama. “Loh.. Ibu kira Ayah sudah siap, ternyata masih disini sama Kirana..”, tiba-tiba Ibu masuk ke dalam kamar. “Eh.. ada Ibu, mau ikut pelukan juga nggak bu?”, goda Kirana sambil tersenyum lebar. “Hahaha.. kamu ini suka menggoda Ibu kamu ya..”, kata sang Ayah sambil mengacak-acak rambut Kirana perlahan. “Sudah sudah, Ayah harus segera berangkat, nanti terlambat sampai bandara, gawat kalau sampai ketinggalan pesawat.”, sang Ibu menggandeng tangan Kirana dan mengajak Kirana ikut keluar. “Kita nggak mengantar Ayah ke airport,Bu?”, tanya Kirana. “Tidak usah sayang. Nanti setelah mengantar Ayah ke airport, Pak Umang tidak langsung pulang ke rumah, dia mau mampir dulu ke kantor Ayah. Kirana di rumah saja ya sama Ibu.”, “Oh, oke deh Yah. Ayah hati-hati ya di jalan. Jangan lupa kabarin kita ya Yah kalau sudah sampai Vietnam”, kata Kirana berlagak seperti orang tua sedang menasihati anaknya. Sang Ayah hanya tertawa mendengar ucapan Kirana.Tanpa menunggu lama, sang Ayah pun segera masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju bandara. Dia melambaikan tangannya ke arah Istrinya dan Kirana.
   Dua minggu kemudian, Ayahnya pun pulang. “Ayaaah..”, sambut Kirana seraya berlari ke dalam pelukan Ayahnya. “Akhirnya Ayah pulang juga.. Kirana kangen banget sama Ayah..”, “Ayah juga kangen sama Kirana..”, Ayahnya mencium keningnya. “Lihat, Ayah bawa apa untuk Kirana”, Ayahnya mengeluarkan sebuah bingkisan. Bingkisan itu berisi banyak perangko dari Vietnam. “Waahhh.. banyak sekali, terima kasih Ayah..”, Kirana mencium dan memeluk Ayahnya. Ayahnya sangat senang melihat Kirana suka akan oleh-oleh yang diberikannya. Sang Ayah senang bila melihat Kirana bahagia. Kebahagiaan seperti itu pun terus tercipta di hari-hari berikutnya. Hidup Kirana seakan sempurna, tidak pernah merasa sedih. Kirana sangat bersyukur pada Tuhan atas kebahagiaan yang selama ini dia rasakan. Sekali lagi Kirana berpikir bahwa hidup akan selamanya indah.
   Hingga suatu ketika, semua kebahagiaan itu berubah menjadi keadaan yang sangat tidak diinginkan oleh Kirana. Semua kebahagiaan itu hilang entah kemana, entah direnggut oleh siapa. Keadaan di rumah Kirana menjadi tidak hangat lagi. Kini, tidak jarang kedua orang tuanya bertengkar, saling berteriak, saling membentak satu sama lain. Kirana tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi, Kirana masih terlalu kecil untuk mengetahui keadaan seperti ini. Kirana hanya bisa sembunyi ke kamarnya kalau dia sudah mendengar kedua orang tuanya mulai bertengkar. Kirana merasa takut, merasa sedih, merasa sendiri dan tidak mengerti apa yang seharusnya dia lakukan. Semenjak keadaan di rumahnya berubah, Kirana menjadi lebih tertutup dan menjadi anak yang pendiam. Keceriaan dan gelak tawanya kini tidak terdengar lagi. Ayahnya pun seakan sudah melupakannya. Ayahnya jarang pulang ke rumah, dan sudah tidak pernah mengajak Kirana bercanda lagi. Kirana benar-benar bingung, dia tidak tahu harus bercerita pada siapa. Setiap dia bertanya pada sang Ibu tentang Ayahnya, sang Ibu hanya memberi jawaban yang tak pernah berubah. Katanya, Ayah sedang ke luar negeri mengurus bisnisnya. Tapi Kirana tahu jawaban Ibunya itu hanya alasan. Kirana tahu Ayahnya tidak sedang mengurus bisnis.
   Kirana mencoba mencari tahu kemana Ayahnya pergi. Namun hasilnya nihil. Kirana memohon pada Ibunya pun, Ibunya tidak mau memberi tahu kemana Ayahnya pergi. Ibunya pun kini berubah, menjadi sensitif dan pemarah. Kirana merasa sangat kesepian, tidak ada lagi kasih sayang seperti dulu. Tidak ada lagi perhatian dan kebahagiaan seperti dulu. Kirana sangat sedih. Hingga akhirnya Kirana benar-benar ditinggal oleh Ayahnya. Dulu, Ayahnya masih sempat pulang ke rumah, walaupun sangat jarang. Namun sekarang, Ayahnya tidak pernah pulang sama sekali. Kirana bingung kemana sang Ayah pergi. Akhirnya dia memberanikan diri untuk menghubungi Ayahnya.
   “Halo.. Ayah..”, Kirana mencoba memulai pembicaraan melalu telepon genggamnya. “Kirana?”, tanya Ayahnya dengan nada seperti tidak percaya. Sesaat, Kirana terdiam. Tidak melanjutkan bicara, melainkan menangis. “Kirana.. kamu kenapa sayang? Jangan menangis ya,Nak..”, terdengar suara dari seberang. Suara itu membuat Kirana merasa tenang dan mengurangi rasa kesepiaannya. “Ayah kemana? Kenapa Ayah pergi? Kenapa Kirana ditinggal?”,Kirana mulai mengeluarkan sejumlah pertanyaan. “Kirana, maafkan Ayah ya. Ayah terpaksa pergi, ada urusan penting yang tidak bisa Ayah tinggalkan”, “Ayah bohong! Ayah pasti nggak ada urusan apa-apa, Ayah pura pura kan?”, tangisan Kirana pun pecah. Tidak ada jawaban dari Ayahnya. Kirana terus terisak. “Kirana.. Ayah mohon, maafkan Ayah. Ayah telah bercerai dengan Ibumu..”, jawab sang Ayah. Kirana menghentikan tangisannya. Sebetulnya, dia tidak mengerti benar apa arti dari kata perceraian yang baru saja diucapkan oleh Ayahnya. Usia nya terlalu dini untuk mengerti permasalahan seperti itu, yang dia tau hanyalah dadanya yang terasa sesak. Dia merasa jauh dengan Ayahnya. Dia rindu kasih sayang dari Ayahnya. “Ayah.. Kirana kangen Ayah.. Kirana mau main sama Ayah..”, Kirana mulai terisak. “Kirana tenang ya, Ayah janji, kita akan tetap bertemu walaupun bukan di rumah.”, “Ayah serius? Kita bisa bertemu?”, “Iya sayang. Kita akan bertemu setiap bulan. Tapi tidak di rumah dan tidak sama Ibu ya..”, “Loh? Kenapa? Ayah nggak kangen sama Ibu?”, “Hm.. Kirana, kamu masih kecil, belum mengerti tentang semua ini. Kirana sabar ya, yang jelas Ayah tetap sayang sama Kirana.. Sudah dulu ya Kirana, Ayah masih banyak pekerjaan..”, pembicaraan itu segera diakhiri oleh Ayahnya. Kirana terduduk di pojok kamar, terdiam dan menangis.
   Ternyata sang Ayah tidak bermain-main dengan janjinya. Semenjak Ayahnya keluar dari rumah, Kirana tetap dapat bertemu dengan sang Ayah, mereka berdua rutin bertemu walaupun hanya satu kali dalam sebulan. Biasanya mereka bertemu di mall, restoran, atau terkadang sang Ayah menjemput Kirana sepulang sekolah. Walaupun hanya sekali dalam sebulan, tapi Kirana tetap bersyukur karena masih dapat bertemu dengan Ayahnya. Mereka hanya bertemu berdua, tanpa sang Ibu. Di pertemuan yang singkat itu, Kirana selalu menceritakan apa saja yang dialaminya. Kerinduannya akan suasana rumah yang menyenangkan, juga masalah perekonomian di rumahnya yang berubah semenjak Ayahnya keluar dari rumah. “Sekarang, nggak ada lagi yang bisa beliin aku mainan kayak Ayah..”, kata Kirana. “Loh, kamu kan masih bisa minta sama Ayah. Ayah akan tetap kasih kamu mainan kalau kamu mau.”, Kirana hanya tersenyum.
   Walaupun Ayahnya sudah berpisah dengan sang Ibu, namun Ayahnya tidak melepaskan tanggung jawab begitu saja. Setiap bulannya, sang Ayah rutin memberi biaya untuk Kirana sekolah, memberi biaya untuk Kirana jalan-jalan ketika liburan sekolah, memberi biaya untuk segala kebutuhan Kirana. Walaupun tidak seperti dulu lagi, Kirana tetap mensyukuri keadaan ini. Dia masih dapat hidup dengan layak walaupun tidak dengan harta berlimpah seperti dulu lagi. Namun, karena dulu dia terlalu sering dimanja, terkadang dia menjadi anak yang keras kepala, memaksakan kehendak dan ingin dituruti keinginannya. Hanya terkadang saja dia terlihat dewasa dan terlihat mengerti keadaan yang telah berubah ini.
   Bertahun-tahun pun dia lewati dengan kehidupan apa adanya, Kirana semakin terbiasa dengan keadaan hidupnya yang baru. Hingga sampailah dia ke umur yang memasuki masa remaja, kini Kirana berumur tiga belas tahun. Ayahnya pun mengajak Kirana untuk merayakan ulangtahunnya itu, tentu saja Kirana merasa sangat senang. Ayahnya mengajak Kirana berjalan-jalan seharian dan mengajak Kirana makan malam di sebuah restoran Jepang. Kirana sangat senang, dia dan Ayahnya duduk di sebuah meja makan yang di depannya ada seorang juru masak yang ternyata langsung memasak pesanan yang dipesan mereka. Kirana baru pertama kali masuk ke restoran Jepang dan dia merasa senang. Satu hal lagi yang membuat harinya semakin sempurna, ternyata Ayahnya menyiapkan kejutan kecil untuknya. Tiba-tiba beberapa pelayan datang mendekati meja mereka, Kirana bingung, namun tiba-tiba keluarlah seorang pelayan lain yang membawakan kue tart beserta lilin di atasnya. Para pelayan di sekelilingnya menyanyikan lagu ‘Happy Birthday’ khusus untuknya. Kirana menatap ke arah Ayahnya dan memeluknya. Kirana merasa tersanjung dan sangat bahagia. Hari itu semua terasa sempurna di mata Kirana.
   Waktu terus berjalan, hari-hari Kirana pun terus berlalu. Setelah hari paling sempurna terjadi di saat Kirana berulang tahun, tidak ada lagi hari bahagia lainnya. Hari-hari Kirana semakin sepi, semakin kelam. Kini, sang Ayah tidak pernah lagi mengajak Kirana untuk bertemu. Entah apa alasannya, Kirana tidak mengerti. Komunikasi mereka pun tidak berjalan lancar seperti dulu. Kirana semakin rindu dengan Ayahnya. Semakin merasa kehilangan, Kirana benar-benar sedih dengan semua keadaan ini. Kirana rindu kehidupannya yang dulu, Kirana rindu akan masa lalunya yang benar-benar indah. Kini Kirana mengerti, hidup tidak selamanya indah. “Ah.. andai waktu bisa kuulang..”, gumam Kirana. Kirana mencoba menghubungi Ayahnya, namun tidak ada hasil. Ayahnya tidak pernah menerima telepon  dari Kirana. Komunikasi mereka pun semakin berkurang hingga akhirnya benar-benar tidak berkomunikasi sama sekali.
   Kirana tidak bisa menerima semua itu begitu saja, dia mencoba bertanya pada Ibunya, tapi Ibunya tidak pernah memberi penjelasan yang sebenarnya pada Kirana. Kirana terus berdoa, berjuang mencari Ayahnya. Namun, dia tidak pernah berhasil. Akhirnya Kirana pun merasa lelah, dia patah semangat dan mulai mencoba menerima semuanya. Kini, dia tidak lagi berusaha mencari Ayahnya, dia merelakan sang Ayah meninggalkan dirinya, walaupun sebenarnya dia merasa kecewa. Kirana menjalani hari-harinya yang baru, tanpa Ayah, tanpa kasih sayang dari Ayah, bahkan tanpa mendengar suara dan kabarnya. Terkadang Kirana berpikir, dimana Ayahnya berada, sedang apa, apakah Ayahnya merindukannya juga. Tidak jarang Kirana menangis di dalam doanya, teringat masa kecil bersama Ayahnya yang begitu menakjubkan.
   Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, Kirana tetap tidak punya kabar tentang keadaan Ayahnya. Sampai-sampai Kirana sudah terbiasa hidup tanpa Ayah. Selama tiga tahun itu pun Kirana menjalani hidupnya dengan tidak mudah. Hidup pas-pas an, hidup seadanya, dan kebutuhan di rumahnya pun tidak lagi terpenuhi dengan baik. Bukan itu saja, tumbuh dewasa tanpa kehadiran seorang Ayah membuat Kirana kekurangan kasih sayang, kurang perhatian, dan pertumbuhan psikologisnya pun tidak berlangsung dengan baik. Terkadang teman-teman Kirana suka bertanya tentang Ayahnya, namun Kirana tak pernah bisa menjawabnya. Kirana merasa iri bila mendengar teman-temannya bercerita tentang Ayah mereka, apalagi jika Kirana melihat teman-temannya dijemput oleh Ayah mereka masing-masing ketika pulang sekolah. Kirana teringat betul bagaimana dulu dia juga pernah dijemput oleh sang Ayah. Untuk kesekian kalinya Kirana merasa sangat rindu dengan kehadiran sang Ayah.
   Kini, Kirana telah berusia tujuh belas tahun, empat tahun telah berlalu semenjak Ayahnya pergi dari rumah. Di hari spesialnya, Kirana sangat berharap Ayahnya datang menemuinya dan mengucapkan selamat ulangtahun padanya, tapi sayang semua itu hanyalah sebuah harapan, yang tidak terwujud dengan sempurna. Ayahnya tidak datang, tidak menemuinya, bahkan tidak menghubunginya. Kirana tidak mendapat ucapan ulangtahun dari sang Ayah. “Ayah.. aku rindu Ayah, aku mau Ayah ucapin selamat ulangtahun buat aku,Yah..”, kata Kirana sambil terisak. Kirana memandang wajah Ayahnya dalam sebuah foto, didekatkannya foto itu ke dadanya, dipeluknya erat. Air matanya menetes, dia menatap foto itu dan air matanya pun jatuh membasahi foto yang sedang digenggamnya. “Ayah, Kirana sedih waktu Kirana nggak bisa bilang selamat ulangtahun ke Ayah di hari ulangtahun Ayah. Sudah empat tahun kita nggak ketemu Yah, sudah empat tahun itu pula aku nggak bisa ucapin selamat ulangtahun ke Ayah, begitu juga sebaliknya. Sekarang aku udah tujuh belas tahun Yah, Ayah bisa bayangin kan gimana aku udah mulai tumbuh dewasa? Aku kangen Ayah..”, Kirana berbicara sendiri pada foto itu. Dia terus menangis. Dia benar-benar merasa rindu, dia teringat bagaimana sedihnya dia disaat hari ulangtahun Ayahnya,  dia tidak bisa bertemu dan mengucapkan selamat ulangtahun pada Ayahnya.
   Setelah cukup lama dia menangis, akhirnya dia pun tersadar bahwa hidupnya harus tetap berjalan. Dia berhenti menangis, dia mengambil laptop dan menyalakannya. Kemudian dia mencoba mengetik nama ayahnya di google, “Ah.. mungkin saja ada info yang bisa aku dapat tentang Ayah”, gumamnya. Akhirnya, beberapa artikel yang memuat nama Ayahnya pun tampil di layar. Dia membuka beberapa di antaranya, hingga dia menemukan biodata tentang Ayahnya. Namun disana, terpampang sebuah nama yang membuatnya bertanya-tanya. Ada nama seorang laki-laki yang tertulis sebagai anak Ayahnya. Langsung saja Kirana mencoba menghubunginya. Laki-laki itu bernama Hans. “Halo..”, kata Kirana memulai pembicaraan. “Halo.. ini siapa ya?”, sahut orang itu. “Hm.. betulkah ini Hans Sutaryo?”, “Oh iya.. betul. Anda siapa ya? Ada keperluan apa?”, “Saya Kirana, apa betul Anda ini anak dari Bapak Heru Sutaryo?”, “Betul, darimana Anda tahu?”, jawabnya lagi. Akhirnya Kirana pun menceritakan siapa dia sebenarnya. “Baiklah kalau begitu..”, kata Hans. “Kamu panggil saja aku Bang Hans, aku mengerti siapa kamu sebenarnya.”, sambungnya lagi. “Terimakasih banyak Bang, terimakasih mau mendengarkan aku.”, jawab Kirana.
   Akhirnya, Kirana pun rutin berkomunikasi dengan Bang Hans. Kirana pun beberapa kali mendapat kabar tentang Ayahnya dari Bang Hans. Kirana pun akhirnya mengerti kenapa Ayahnya pergi dari rumah. Ternyata, sang Ayah telah mempunyai istri lain sebelum bertemu dengan Ibu Kirana. Bang Hans adalah anak Ayahnya dari istri pertamanya. Kirana tidak terlalu memikirkan masalah itu. Kini, Kirana mendapat banyak bantuan dari Bang Hans, kebutuhannya mulai terpenuhi. Kirana sangat berterima kasih kepada Bang Hans. Beberapa kali Kirana meminta izin untuk dipertemukan dengan sang Ayah, namun Bang Hans tak pernah mengabulkan permohonannya itu, dan Kirana tidak berani untuk memaksakan kehendaknya.
   Beberapa bulan setelah Kirana bertemu dengan Bang Hans, Kirana mendapat kabar bahwa Ayahnya terkena struk ringan dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Kirana mengetahuinya dari Bang Hans. “Adikku, saat ini Ayah dirawat di rumah sakit karena terkena struk ringan..”, jelasnya. “Astaga, Ayah terkena struk?”, tanya Kirana dengan nada yang agak tinggi. “Lalu, bagaimana keadaannya?”, tanya Kirana lagi. “Kamu tenang saja ya, terus saja berdoa, dokter sedang berusaha merawatnya, yang sabar ya Kirana”, jawab Bang Hans lagi. Kirana terus mendoakan sang Ayah, Kirana tidak mau terjadi sesuatu yang berbahaya pada Ayahnya. Semenjak saat itu, Ayahnya terus-menerus keluar masuk rumah sakit, penyakitnya semakin kompleks, namun Kirana tidak mengerti benar tentang penyakit Ayahnya.
   Suatu sore Bang Hans menghubungi Kirana. “Kirana..”, katanya “Bagaimana kabarmu?”, “Baik Bang..”, jawab Kirana. “Ada apa ya, Bang? Tumben telepon sore-sore begini..”,sambungnya. “Kirana, Abang mempunyai sebuah kabar tentang Ayah”, Bang Hans terdiam sejenak. “Kabar apa Bang?”, Tanya Kirana. “Maafkan Abang baru memberi tahu saat ini, 1 bulan yang lalu Ayah kembali masuk rumah sakit..”, “Loh? Kenapa Abang nggak kasih tau aku?”, “Maaf Kirana, waktu itu Abang lagi sibuk mengurus Ayah. Kirana.. saat ini keadaan Ayah sudah berat.”, “Maksud Abang apa?”, Tanya Kirana. “Keadaannya semakin menurun, tidak ada kemajuan dalam kesehatannya, para dokter yang merawatnya pun sudah angkat tangan..”, sesaat keduanya terdiam. Kirana merasa sangat sedih dan takut. “Besok, Ayah akan dibawa pulang saja, karena di rumah sakit pun percuma, keadaannya tidak juga membaik. Biar saja dia beristirahat di rumah.”, jelasnya. “Titipkan salamku untuknya ya Bang, aku sangat merindukannya.”, jawab Kirana. “Pasti Abang sampaikan, tolong doakan Ayah ya Kirana.”
   Dua hari kemudian, Bang Hans kembali menghubungi Kirana. “Adikku sayang..”, kata Bang Hans. Suaranya agak berbeda dari biasanya. “Kamu yang sabar ya..”,sambungnya. “Ada apa Bang?”, Kirana mulai khawatir. “Apa ini tentang keadaan Ayah?”, tanya Kirana. Tak ada jawaban, hanya terdengar isak tangis yang tertahan. “Bang, Abang nangis ya?”, “Kirana.. Ayah sudah tiada..”, jawab Bang Hans. Bagai disambar petir Kirana mendengar kabar itu, Kirana sangat terkejut. Tangisannya pun pecah, air matanya membanjiri kedua pipinya. Kirana tak sanggup berbicara apa-apa. “Terimakasih Bang atas kabarnya. Aku akan selalu doain Ayah.”, Kirana segera memutuskan pembicaraan itu. Kirana merasa sangat terpukul, dia benar-benar tidak percaya. Kirana berlari mencari Ibunya dan memberi tahu tentang kabar itu. Kirana terus menangis dalam pelukan Ibunya. Kirana merasa benar-benar kehilangan. Kirana merasa tidak sanggup, dia segera berlari ke kamarnya. Dia mengurung diri disana. Dia mengunci pintu kamarnya dan tak mengijinkan siapapun untuk masuk ke dalam.
   Kirana mencari foto Ayahnya, sambil menangis dia berusaha berbicara dengan sang Ayah melalui foto itu. “Ayah..  Kenapa Ayah pergi? Kenapa Ayah tinggalin aku untuk selamanya, Yah?”, Kirana terus menangis. “Ayah.. Kirana kangen Ayah, kangen banget Yah. Kirana mau ketemu Ayah, mau lihat wajah Ayah lagi, Kirana mau lihat wajah Ayah untuk terakhir kalinya Yah..”, Kirana terus terisak. “Kirana mau peluk Ayah.. Kirana mau bertemu Ayah...”, tangisannya semakin kencang. Air matanya semakin deras. Kirana semakin merasa kesepian, dia tidak percaya Ayahnya pergi untuk selama-lamanya. “Ayah.. Ayah adalah Ayah terbaik yang pernah Kirana punya. Nggak ada orang lain yang bisa kasih Kirana kasih sayang seindah kasih sayang dari Ayah. Seburuk apapun kata orang tentang Ayah, Ayah tetap yang terbaik. Walaupun Kirana pernah kecewa, marah sama Ayah, tapi Kirana sayang banget sama Ayah. Kirana nggak pernah benci sama Ayah, walaupun Kirana nggak pernah mengerti kenapa Ayah pergi, tapi Kirana rela kalau itu memang pilihan terbaik untuk Ayah. Kirana rela sedih asal Ayah bahagia. Ayah, Kirana mau peluk Ayah..”,Kirana mencium foto Ayahnya. Mendekap foto itu dengan erat. “Ayah tenang disana ya.. Kirana janji nanti kita akan bertemu lagi, tunggu Kirana ya Yah. Nanti kalau waktunya tiba, kita akan bersama lagi Yah..”, Kirana mencoba menguatkan dirinya sendiri. Kirana terus menangis, dia memaksakan dirinya untuk kuat, memaksakan wajahnya untuk tersenyum walau itu sangat sulit. Kirana terdiam, terdiam dalam kesedihannya. Kirana mencoba mendewasakan diri, mencoba menerima semua kenyataan yang ada. “Ayah, Kirana sayang banget sama Ayah, terimakasih banyak untuk semua yang pernah Ayah kasih untuk Kirana, terimakasih atas kasih sayang yang pernah Ayah kasih untuk Kirana, Kirana akan selalu sayang dan mendoakan Ayah. Love you Yah..”, kata Kirana seraya terus menciumi foto sang Ayah. Air matanya pun turut membasahi foto itu. Sejak saat itu Kirana benar-benar mengerti bahwa hidup memang tak selamanya indah.

Karya : Shella Anastasia

No comments:

Post a Comment