SpongeBob SquarePants

Saturday, 10 December 2011

Mata Uang Berubah Pangan Lezat

Sebuah artikel dari sebuah majalah

Bangsa Eropa, khususnya Spanyol, yang pertama menjelajah benua Amerika memang semula tidak tertarik pada kakao. Mereka juga tidak menggemari minuman xocolatl (air pahit) yang pahit, dingin, dan pedas dari biji kakao bercampur cabai karya bangsa Maya dan Aztek. Bangsa Spanyol baru baru menganggap kakao berharga ketika mengetahui biji Theobroma cacao itu dipakai sebagai alat tukar oleh penduduk asli Amerika itu. Mereka bisa membeli seorang budak hanya dengan memberikan 100 biji kakao.
Semua itu berubah setelah Hernando Cortez, penguasa sebagian Meksiko pada awal abad XVI memodifikasi xocolatl (ia sebut chocolatl) dengan menambahkan gula, vanila, pala, cengkih, dan kayumanis. Hasilnya, minuman lezat yang disukai para bangsawan Spanyol.

Setengah jadi
Sejak penemuan Cortez itu hingga kini, cokelat telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dalam beragam olahan dan kemasan. Di tanah air pun mulai bermunculan industri kecil yang memproduksi cokelat dengan citarasa maupun kemasan khas Nusantara. Salah satu di antaranya butong karya Meika Hasyim di Yogyakarta. Sesuai namanya, itu akronim dari buah dalam gentong. Meika mengemas cokelat berisi selai buah dalam gerabah mungil khas Yogyakarta.
"Gerabahnya saya pesan khusus tanpa pewarna agar terkesan alami dan aman untuk makanan," ujar Meika. Toh, ia tetap membungkus tiap butir cokelat alumunium foil debelum memasukkan ke dalam gerabah. Tujuannya untuk menjamin keamanan dan menghindari kontaminasi. Olahan cokelat lain khas Indonesia adalah cokelat monggo (juga dari Jogjakarta) kreasi Thierry Detournay asal Belgia, serta cokodot hasil olahan Kiki Gumelar dari Garut, Jawa Barat.
Kafe-kafe yang khusus menghidangkan minuman dan makanan dari cokelat pun makin ramai diserbu pengunjung. Sebut saja Death by Chocolate di Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan L'atelier du Chocolate di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Namun, berbeda dengan bangsa Maya dan Aztek, para produsen olahan cokelat tidak menggunakan cokelat langsung dari bijinya. "Saya menggunakan cokelat setengah jadi," ujar Meika.
Harap mafhum, proses mengubah biji kakao menjadi makanan atau minuman lezat itu cukup panjang. "Untuk mengolah biji cokelat terfermentasi menjadi bubuk kakao atau cocoa powder saja butuh sekitar 2 hari," ujar Direktur Eksekutif PT Bumi Tangerang Meisindotama, Sindra Wijaya.Para penggemar cokelat memanfaatkan bubuk cokelat itu menjadi minuman hangat dengan menyeduhnya. Pilihan lain, mencampur bubuk kakao pada makanan dan minuman. Bandingkan dengan bangsa Maya dan Aztek yang hanya menggiling biji cokelat, lantas mencampurnya dengan bahan-bahan lain seperti biji jagung dan cabai, menyeduhnya dengan air panas, dan menyajikannya dingin.
Untuk membuat bubuk kakao menjadi cokelat batangan, bahkan masih perlu pengolahan lebih lanjut dengan menambahkan cacao liquor, lemak kakao, susu, gula, dan pengemulsi. Namun, karena lemak kakao relatif mahal, banyak produsen yang menggantinya dengan minyak sawit. Padahal, cocoa liquor dan lemak kakao berfungsi memberi aroma tajam khas cokelat dan sensasi meleleh di lidah saat masuk ke mulut.
"Cokelat produksi Eropa yang terkenal lezat rata-rata memiliki karakter deperti itu," ujar Sindra. Sebaliknya, jika menggunakan minyak sawit, aroma cokelat kurang tercium dan cokelat menjadi keras hingga harus dikunyah. Maka dari itu penggunaan minyak nabati disarankan tak lebih dari 5 %.
Sumber : Trubus 503 Oktober 2011/XLII

No comments:

Post a Comment

Saturday, 10 December 2011

Mata Uang Berubah Pangan Lezat

Sebuah artikel dari sebuah majalah

Bangsa Eropa, khususnya Spanyol, yang pertama menjelajah benua Amerika memang semula tidak tertarik pada kakao. Mereka juga tidak menggemari minuman xocolatl (air pahit) yang pahit, dingin, dan pedas dari biji kakao bercampur cabai karya bangsa Maya dan Aztek. Bangsa Spanyol baru baru menganggap kakao berharga ketika mengetahui biji Theobroma cacao itu dipakai sebagai alat tukar oleh penduduk asli Amerika itu. Mereka bisa membeli seorang budak hanya dengan memberikan 100 biji kakao.
Semua itu berubah setelah Hernando Cortez, penguasa sebagian Meksiko pada awal abad XVI memodifikasi xocolatl (ia sebut chocolatl) dengan menambahkan gula, vanila, pala, cengkih, dan kayumanis. Hasilnya, minuman lezat yang disukai para bangsawan Spanyol.

Setengah jadi
Sejak penemuan Cortez itu hingga kini, cokelat telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dalam beragam olahan dan kemasan. Di tanah air pun mulai bermunculan industri kecil yang memproduksi cokelat dengan citarasa maupun kemasan khas Nusantara. Salah satu di antaranya butong karya Meika Hasyim di Yogyakarta. Sesuai namanya, itu akronim dari buah dalam gentong. Meika mengemas cokelat berisi selai buah dalam gerabah mungil khas Yogyakarta.
"Gerabahnya saya pesan khusus tanpa pewarna agar terkesan alami dan aman untuk makanan," ujar Meika. Toh, ia tetap membungkus tiap butir cokelat alumunium foil debelum memasukkan ke dalam gerabah. Tujuannya untuk menjamin keamanan dan menghindari kontaminasi. Olahan cokelat lain khas Indonesia adalah cokelat monggo (juga dari Jogjakarta) kreasi Thierry Detournay asal Belgia, serta cokodot hasil olahan Kiki Gumelar dari Garut, Jawa Barat.
Kafe-kafe yang khusus menghidangkan minuman dan makanan dari cokelat pun makin ramai diserbu pengunjung. Sebut saja Death by Chocolate di Pondok Indah, Jakarta Selatan, dan L'atelier du Chocolate di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Namun, berbeda dengan bangsa Maya dan Aztek, para produsen olahan cokelat tidak menggunakan cokelat langsung dari bijinya. "Saya menggunakan cokelat setengah jadi," ujar Meika.
Harap mafhum, proses mengubah biji kakao menjadi makanan atau minuman lezat itu cukup panjang. "Untuk mengolah biji cokelat terfermentasi menjadi bubuk kakao atau cocoa powder saja butuh sekitar 2 hari," ujar Direktur Eksekutif PT Bumi Tangerang Meisindotama, Sindra Wijaya.Para penggemar cokelat memanfaatkan bubuk cokelat itu menjadi minuman hangat dengan menyeduhnya. Pilihan lain, mencampur bubuk kakao pada makanan dan minuman. Bandingkan dengan bangsa Maya dan Aztek yang hanya menggiling biji cokelat, lantas mencampurnya dengan bahan-bahan lain seperti biji jagung dan cabai, menyeduhnya dengan air panas, dan menyajikannya dingin.
Untuk membuat bubuk kakao menjadi cokelat batangan, bahkan masih perlu pengolahan lebih lanjut dengan menambahkan cacao liquor, lemak kakao, susu, gula, dan pengemulsi. Namun, karena lemak kakao relatif mahal, banyak produsen yang menggantinya dengan minyak sawit. Padahal, cocoa liquor dan lemak kakao berfungsi memberi aroma tajam khas cokelat dan sensasi meleleh di lidah saat masuk ke mulut.
"Cokelat produksi Eropa yang terkenal lezat rata-rata memiliki karakter deperti itu," ujar Sindra. Sebaliknya, jika menggunakan minyak sawit, aroma cokelat kurang tercium dan cokelat menjadi keras hingga harus dikunyah. Maka dari itu penggunaan minyak nabati disarankan tak lebih dari 5 %.
Sumber : Trubus 503 Oktober 2011/XLII

No comments:

Post a Comment